BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Balakang Masalah
Hari raya Nyepi di Tahun 2005 ini (Tahun Saka 1927) kembali ternoda karena sejumlah krama Bali atau warga masyarakat Bali di Batu Paras, Padang Sambian, Denpasar Barat tidak bisa mengendalikan diri. Prilaku kekerasan seperti kejadian ini di Bali memang bukan untuk yang pertama kalinya. Yang memprihatinkan lagi justru kejadian ini terjadi pada saat masyarakat Hindu di Bali harus mengendalikan diri saat hari raya Nyepi. Apakah masyarakat Bali sudah begitu jauh meninggalkan nilai-nilai religius dan budi pekerti sehingga tidak mampu mengendalikan dirinya yang mudah diprovokasi. Kejadian seperti itu tidak saja menodai warga yang berbuat saja (pelaku), melainkan juga masyarakat Bali pada umumnya.
Fakta-fakta mengenai kejadian akibat emosi massa yang tidak terkendali saat itu adalah rumah-rumah penduduk mengalami rusak berat, atapnya berlubang-lubang dan berserakan di tanah, pintu-pintunya rusak dan jebol. Warga yang mengamuk tersebut juga bersenjatakan Gobang (kapak besar), kayu, besi dan batu. Kerugian material akibat kejadian tersebut juga belum dapat ditaksir. Begitu juga dengan kerugian imaterial. Yang memprihatinkan lagi, diantara warga yang diungsikan ke Mapoltabes terdapat balita, orang sakit dan warga yang yang lanjut usia.
Massa yang melempari rumah-rumah tersebut, menurut sumber yang penulis dapat berawal dari dipicunya suara kulkul bulus yang bertalu-talu pada malam hari. Mendengar kulkul bulus tersebut, massa menjadi naik pitam dan spontan keluar rumah dengan membawa senjata tajam lengkap ditangan seperti tombak dan parang.
Dari sumber lain yang penulis wawancarai, kejadian ini terjadi akibat adanya warga yang hendak pindah banjar, dari Banjar Batu Paras ke Banjar Robokan. Warga yang sebenarnya berasal dari Banjar Robokan, tapi tinggal di Banjar Batu Paras ini menyebabkan warga mempunyai kewajiban membayar iuran dikedua Banjar. Besarnya iuran mulai dari Rp. 30-60 juta. Karena warga yang bersangkutan keberatan bila harus berada di bawah dua Banjar. Maka, dia ingin kembali ke Banjar Robokan agar tidak membayar iuran ganda.
Lalu, apakah betul ini merupakan kasus adat?. Menurut pengkajian lebih mendalam mengenai kasus ini, seharusnya ini telah menjadi kasus hukum publik, karena dilain sisi hal ini telah menyangkut kepentingan dari pada masyarakat umum karena adanya tindakan intimidasi sampai pada tindakan kekerasan. Jadi, walaupun kasus ini berlatar belakang adat tetapi apa yang dilakukan warga adalah melawan hukum.
Oleh sebab itu dengan bertitik tolak akan semua argumentasi dan persoalan di ataslah maka paper ini mencoba untuk mencari jawabannya secara logis ilmiah yang dapat diterima sebagai suatu kaidah ilmu hukum yang berlaku dengan judul :
“KASUS KERUSUHAN PADA SAAT HARI RAYA NYEPI DI BALI”
b. Rumusan Masalah
Permasalahan dari judul “KASUS KERUSUHAN PADA SAAT HARI RAYA NYEPI DI BALI ”, dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah sebenarnya peranan Awig-Awig dalam tatanan hukum adat di Bali ?
2. Apa peranan pihak yang Bendesa Adat dan Kepolisian dalam pemecahan masalah hukum ini ( problem solving ) ?
c. Metode Penulisan
Metode penulisan yang penulis pergunakan dalam paper ini ialah metode penelitian secara normatif yaitu dengan melihat norma hukum dan peraturan-peraturan hukum serta literatur-literatur yang berkaitan dengan pemecahan masalah hukum ( problem solving ) .
BAB II
PEMBAHASAN
Desa Adat mempunyai anggota yang umumnya dapat diklasifikasikan atas berbagai cara. Ada yang mengklasifikasikan anggota atas dasar;
• Warga asli dan tidak asli (Krama Desa dan Krama Tamiu)
• Perbedaan hak dan kewajiban dalam Desa Adat
Dalam berbagai kehidupan masyarakat di Bali, bahwa sebagian besar Krama Desa Adat berdomisili di wilayah Desa Adat yang bersangkutan. Anggota Desa Adat mempunyai keterikatan yang sangat kuat terhadap Desa Adatnya sehingga biarpun mereka telah berdomisili dilain daerah untuk waktu yang cukup lama, seperti para imigran di Denpasar mereka tetap menjadi anggota dari pada Desa Adat dimana mereka berasal, sedangkan diwilayah domisili yang baru mereka umumnya hanya menjadi warga Desa Administratif.
Melihat dari perbedaan yang terjadi dalam kasus ini, dimana sekelompok orang tertentu menyerang korban dengan alasan yang menyatakan bahwa korban melanggar Awig-Awig dari Desa setempat adalah suatu tindakan yang salah.
Seharusnya hal ini dibawa kekuasaan tertinggi pada Desa Adat yang terdapat pada rapat anggota atau Sangkep (Paum, Parum). Jikalau nantinya putusan yang diambil oleh Bendesa Adat selaku orang yang berfungsi sebagai Krama dari Desa Adat menyatakan kesimpulan yang berbeda dengan kelompok yang besar, maka pihak tersebut harus menerimanya dengan senang hati. Beda halnya jika orang atau korban tersebut minta pembagian atas Harta Desa Adat, maka hal itu dapat ditolak karena perubahan keanggotaan secara mutlak.
Pada saat berlangsungnya pertemuan antara korban dengan Bendesa Adat beserta anggota lainya harus tetap menjaga keseimbangan antara keseimbangan dan keamanan serta ketertiban. Karena mungkin pada saat mengadakan konsultasi, ada tekanan dari pihak-pihak luar (kelompok besar) yang ingin korban terusir dari Desa tersebut. Hal ini juga tak terlepas dari kepribadian sang Bendesa Adat. Karena dialah orang yang dapat mengambil kesimpulan atas perkara tersebut.
Konsep yang umumnya dianut oleh Bendesa Adat dalam menangani konflik adalah konsep “harmonisasi”. Dimana setiap konflik atau pelanggaran terhadap aturan dianggap menggangu keharmonisan yang ada. Oleh karena itu penangan dilakukan dalam upaya mengembalikan keharmonisan Awig-Awig Desa Adat tersebut. Namun tidak jarang bahwa Awig-Awig tersebut hanya dimanfaatkan oleh golongan tertentu.
Namun menurut pengkajian lebih mendalam mengenai kasus ini, seharusnya ini telah menjadi kasus hukum publik, karena dilain sisi hal ini telah menyangkut kepentingan dari pada masyarakat umum karena adanya tindakan pengancaman sampai pada tindakan pembakaran.
Maka pemeriksaan dan penyelidikanya harus diserahkan kepada tim penyidik dari petugas kepolisian. Dalam melakukan penyelidikan pihak yang berwajib harus selalu berkonsultasi dengan para pihak Prajuru Adat. Karena mereka yang lebih mengerti bagaimana hal itu bisa terjadi.
Dalam penelitian tentang siapa yang bersalah atau tidak, pihak yang berwajib harus menjaga keamanan dari pada kelompok kecil dalam hal ini adalah keluarga korban. Terlepas dari masalah tersebut, pihak yang berwajib juga harus selalu menjadi penyeimbang dalam setiap masalah jikalau masalah tersebut menyangkut kepentingan umum. Dengan kata lain Mapoltabes harus siap sebagai fasilitator atau mediator untuk mencarikan solusi efektif atas kasus ini.
Dalam melakukan proses penyelidikan lanjutan, pihak berwajib harus memperhatikan hubungan hukum antara Adat Bali, Hukum Adat secara Nasional dan Hukum Nasional. Agar nantinya tidak terjadi adanya pertentangan dalam penerapan aturan dan kita mengharapkan agar penyelesaian kasus ini dapat selesai tanpa merugikan salah satu pihak.
Dalam kaitannya dengan masalah kasus lainnya, saya mengharapkan bahwa perkembangan zaman ini tidak mengganggu kondisi yang kondusif yang ada di Bali. Melihat kedepan bahwa akan sangat banyak tantangan yang akan dihadapi seperti masa globalisasi dan modernisasi. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah kita mampu untuk menyongsong masa depan kita yang sudah di depan mata.
Dengan otonomi yang diagung-agungkan daerah saat ini, kita berharap bahwa desa-desa yang ada di Bali tetap eksis karena melalui Awig-Awig Desa inilah kita dapat memakmurkan, melestarikan terus budaya bangsa dan negara kita sendiri. Jika kondisi ini tidak dapat kita tahan maka banyak persoalan yang akan muncul seperti “apakah manusia Bali telah siap memasuki pasca persimpangan jalan ?
Sesungguhnya kemampuan dan ketahanan akar pancar kebudayan Bali masih dalam tahap ujian terus-menerus. Dalam pengkajian pemerintah bahwa sektor pertanian di Bali akan diambil alih oleh sektor industri wisata. Sebagai konsekuensi bahwa akan datang kekuatan eksternal dan akan terus mengalir sebagai satu kekuatan makro yang akan mendorong masyarakat menjadi lemah dalam berbagai sistem kehidupan.
Untuk hal itu semua masyarakat harus perlu disadarkan kembali menggenai arti sebenanya dari pada aturan Awig –Awig disetiap Desa Pakraman.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Peranan Majelis Madya belum optimal, paling tidak mereka telah berusaha untuk ikut berpartisipasi dalam mengamankan. Namun, selama ini Majelis Madya terjun ke daerah tanpa dana operasional yang mendukungnya, hanya berbekal tanggung jawab. Majelis Madya yang ada di kecamatan dan desa-desa sulit sekali dijangkau, apalagi jangkauan tugasnya sangat luas yang tak bisa dijangkau dengan hanya berjalan kaki saja. Selain itu, dukungan dari pemerintahan juga kurang dalam penyelesaian beragam konflik. Selain itu, juga banyak kasus pribadi yang terjadi mengatasnamakan adat setempat sehingga sering terjadi bentrokan. seharusnya diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat dengan desa adat setempat yang tanggap dengan keadaan ini, jangan dibiarkan seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa membesar dan perlu antisipasi, sehingga kasus serupa tak terjadi lagi.
2. Saran
Untuk menyikapi maslah ini maka sebaiknya setiap warga masyarakat di Bali hendaknya mau saling menghormati dan menghargai akan hak dan kewajibannya masing-masing sehingga kejadian ini tidak terulang kembali dan mengingat bahwa saat kejadian itu tepat dengan perayaan Hari Nyepi, yang sepatutnya hendaknya saling merenungkan diri dan mengintrospeksi diri untuk menjalani kehidupan yang lebih baik lagi. Kemudian hendaknya elemen-elemen yang terkait dengan ketertiban dan keamanan di Bali ini dapat meningkatkan kinerjanya sehingga dapat menciptakan suasana yang lebih kondusif lagi.
DAFTAR BACAAN
1. Literatur-literatur :
I Gde Pitana. “Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali”. Offset BP, Denpasar,
I Ketut Artadi, SH. SU., “Hukum Adat Bali (Dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi Yurisprudensi)”. Setia Kawan, Denpasar, 1987.
I Wayan Surpha, SH., “Eksistensi Desa Adat Di Bali”. Upada Sastra, Denpasar, 1993.
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH., “Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia”. Mandar Maju, Bandar Lampung, 2003.
Soleman B. Taneko, SH., “Hukum Adat (Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Mendatang)”. Eresco, Bandung, 1987.
2. Lain-lain :
Bali Post. “Tujuh Rumah Dirusak Saat Nyepi”. Halaman 1.
Bali Post, 17 Maret 2005. Betulkah Itu Persoalan Adat”. Halaman 9.
Radar Bali, 17 Maret 2005. “Nyepi Diwarnai Kerusuhan”.
(nwlawdocument7)
0 komentar:
Posting Komentar