Minggu, 26 April 2009

Hukum Perlindungan Konsumen

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

ANALISA PASAL UU NO. 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN



Adapun di dalam pasal 8, 9, 10, 13, 17 adalah merupakan ketentuan mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam kegiatan periklanan. Sedangkan dalam pasal 20 mengatur tentang siapa yang dapat bertanggung jawab atas pelanggaran atas perbuatan yang dilarang tersebut.
Dalam pasal 8,9,10,13,17 UUPK disebutkan mengenai larangan-larangan bagi pelaku usaha untuk tidak memberikan informasi yang tidak benar dan menyesatkan dalam kaitannya dengan iklan produk. Namun hal tersebut sangat timpang sekali dengan keadaan sekarang ini. Ini terbukti masih banyak sekali iklan baik dalam bentuk visual, audio, atau audio visual yang nampaknya tidak sesuai dengan ketentuan dalam UUPK. Pelanggaran itu terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya tidak memberikan informasi yang tidak benar atau menyesatkan atau juga tidak jujur tentang suatu produk yang diiklankan. Sehingga lagi-lagi konsumen yang dirugikan dari tindakan pelaku usaha yang tidak bertanggungjawab tersebut.


Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;


d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Dalam Pasal 8 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang untuk memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak sesuai dengan jumlah, informasi yang ada dalam label, etiket atau keterangan barang dan atau jasa tersebut, tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa, tidak mengikuti prosedur berproduksi secara halal,

tidak memasang label atau penjelasan mengenai produk tersebut, serta tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sedangkan dalam ayat (2) dan (3) memuat larangan bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan barang dan atau sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacad/bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi yang benar. Dan karena perbuatan tersebut maka pelaku usaha dilarang mengedarkan atau memperdagangkan serta wajib menarik dari peredaran.
Jadi sangat jelaslah apabila hal-hal di atas dilanggar maka konsumen adalah pihak yang sangat dirugikan.

Pasal 9
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e. . barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.

(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 9 ayat (1) memuat ketentuan mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan penawaran, promosi, pengiklanan barang dan atau jasa secara tidak benar dan atau seolah-olah dalam hal barang tersebut telah memenuhi dan atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu . Tidak benar yang dimaksudkan adalah bahwa antara iklan dengan barang yang sesungguhnya tidak sama. Dan menurut ketentuan pasal (2), barang dan atau jasa yang dimaksudkan tersebut tidak boleh diperdagangkan. Sehingga berdasarkan ayat (3), pelaku usaha yang melakukan pelanggaran tersebut dilarang melanjutkan kegiatan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan /atau jasa tersebut. Namun pada kenyataannya masih saja ada pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut, sehingga dalam hal ini lagi-lagi konsumen yang dirugikan.

Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai : a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa; c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Pasal 10 menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, atau memberi pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga suatu barang atau jasa, kegunaannya, kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atasnya, tawaran potongan harga atau hadiah menarik ynag ditawarkan, serta bahaya menggunakan barang dan atau jasa tersebut. Hal-hal tersebut pasti sangat menarik konsumen untuk membeli produk barang dan atau jasa tersebut, karena adanya upaya dari pelaku usaha dengan menjanjikan bermacam-macam keuntungan kepada konsumen. Melihat kondisi masyarakat kita saat ini yang mempunyai pola hidup konsumtif, apalagi kaum wanita pasti tertarik dengan potongan-potongan harga maupun hadiah-hadiah

yang di iming-imingkan oleh pelaku usaha. Tentu saja jika ternyata informasi tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang ada maka sangat merugikan bagi konsumen.

Pasal 13
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
(2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.

Demikian halnya dengan pasal-pasal sebelumnya pasal 13 yang memuat ketentuan yang intinya juga merugikan pihak konsumen. Sama dengan pasal 10, pasal 13 ayat (1) ini juga memuat tentang adanya usaha/kegiatan dari pelaku usaha menawarkan barang dan/atau jasa dengan iming-iming pemberian hadiah, namun dengan tujuan tidak memberikan pada konsumen. Jadi merupakan janji-janji kosong atau palsu yang digunakan untuk menarik konsumen dengan cara-cara yang curang. Sedangkan dalam ayat (2), sama dengan ketentuan di atas namun berbeda obyek yaitu dengan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, maupun jasa pelayanan kesehatan. Ketentuan dalam pasal ini akan sangat merugikan konsumen, karena bukan materi saja yang dirugikan namun dari sisi kesehatan pun dirugikan, sehingga akan berakibat pada kesehatan masa yang akan datang.

Pasal 17
(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang :
a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;


e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
(2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).

Pasal 17 memuat ketentuan mengenai larangan bagi pelaku usaha dalam memproduksi iklan yang mengelabui konsumen konsumen mengenai segala tentang barang dan/atau jasa yang diiklankan, dan larangan memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat, atau tidak memuat informasi yang dibutuhkan mengenai resiko pemakaian barang dan/atau jasa tersebut, mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizin yang berwenang, dan melanggar ketentuan etika ynag berlaku. Iklan yang sifatnya mengelabui, memberikan informasi yang salah atau tidak memberi informasi yang seharusnya dibutuhkan, sangatlah merugikan konsumen. Apalagi kalau konsumen tidak teliti atau jeli mungkin tidak akan menyadari hal tersebut. Misal karena salah informasi bisa saja konsumen salah menggunakan suatu produk, sehingga tidak akan dapat bermanfaat penggunaannya dan tidak sesuai tujuan, malah mungkin akan berdampak negatif dengan salahnya informasi tersebut. Oleh karena itu tiap-tiap pelaku usaha hendaknya benar-benar memperhatikan produk yang dikeluarkannya dan tidak hanya mengejar tujuan materi saja namun kualitas dari produk harus dijaga. Demikian juga pengawasan dari pemerintah tentang perizinan dan pengawasan peredarannya harus lebih ditingkatkan lagi.
Dari ketentuan pasal-pasal 8,9,10,13,17 tersebut dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan secara hukum maupun ganti rugi oleh konsumen apabila konsumen merasa dirugikan akibat perilaku pelaku usaha yang melanggar ketentuan-ketentuan di atas. Penyelesaian masalah ini dapat diselesaikan melalui Pengadilan maupun di luar Pengadilan. Khusus diluar pengadilan ini dikenal dengan nama BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen). Penyelesaian melalui BPSK tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam UUPK pasal 45 ayat (3). Penyelesaian di jalur pengadilan akan dilakukan jika usaha yang dilakukan atau penyelesaian melalui BPSK (luar pengadilan) tidak berhasil menemui jalan keluar atau penyelesaian antara pihak.


Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

Pasal 20 menyatakan bahwa pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksinya dan segala akibat yang ditimbulkan dari iklan tersebut. Dalam pasal ini memberikan ketentuan yang tegas tentang siapa yang bertanggung jawab atas pelanggaran iklan yaitu perusahaan periklanan. Namun ketentuan tersebut menjadi membingungkan karena ada ketentuan lain yang menyatakan pendapat yang berbeda. Demikian halnya tentang makna pelaku usaha yang diamaksud belumlah jelas. Dimana di dalam periklanan dikenal ada 3 pihak ynag terlibat dalam periklanan yaitu:
1. pengiklan (produsen, distributor) barang dan atau jasa, atau yang disebut perusahaan pemasang iklan.
2. perusahaan periklanan / biro iklan, sebagai pihak yang membuat iklan atau pihak ynag mempertemukan pegiklan dengan media penyiar iklan.
3. media penyiar iklan, yang mempublikasikan atau menyiarkan materi iklan baik berupa gambar gambar, visual, maupun lisan.
Jadi hal tersebut menimbulakn beberapa pendapat mengenai sesungguhnya siapa yang dapat di tuntut atau bertanggung jawab atas pelanggaran periklanan. Dalam beberapa ketentuan yang menyatakan:
1. pasal 19 UUPK, disana hanya menyebutkan tentang pelaku usaha saja, jadi tidak jelas siapa ynag harus diminta pertanggungjawaban berkaitan dengan iklan.
2. kemudian dalam pasal 20 tampak jelas bahwa yang bertanggungjawab itu adalah pelaku usaha periklanan, jadi yang dimaksud adalah biro periklanan.
3. namun ada ketentuan lain yaitu dalam pasal 45 ayat (2) PP No.69 tahun 1999 yang menyatakan media penyiar iklan yang bertanggung jawab.
Dari beberapa ketentuan tersebut akan menimbulkan beberapa silang pendapat dan tafsiran yang berbeda-beda tentang siapa yang dimaksud dengan pelaku usaha yang bertanggungjawab itu. Hal ini mungkin disebabkan karena kurang jelasnya peraturan tentang periklanan yang memang di Indonesia belum ada peraturan khusus tentang periklanan.


Kalau menurut pendapat saya, pihak pelaku usaha yang bertanggung jawab atas pelanggaran periklanan adalah perusahaan periklanan, biro iklan (perusaahaan periklanan), dan media iklan. Karena ketiga pihak tersebut tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan periklanan, dan tanggung jawabnya secara renteng (tanggung jawab renteng)
Oleh sebab itu hendaknya segera dibuat peraturan yang jelas dan tegas mengenai hal tersebut sehingga konsumen-pun tidak melulu sebagai pihak yang dirugikan.
(nwlawdocument7)

0 komentar:

Posting Komentar