Selasa, 28 April 2009

Pengertian Jual Beli Internasional

Jual Beli Internasional/ Eksport Import

I. Pengertian
Jual Beli Adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan ( Pasal 1457 BW ).

Jual Beli Internasional: Jual Beli yang bersifat lintas batas Negara

Unsur- unsur
1. Perjanjian/ kontrak
2. Penjual dengan kewajiban untuk menyerahkan suatu kebendaan
3. Pembeli dengan kewajiban membayar harga
4. Bersifat lintas batas negara; Pada umumnya Penjual berada dalam negara yang berbeda dengan pembeli. Namun demikian dapat pula terjadi bahwa penjual dan pembeli berada dalam satu negara, obyek jual beli / kebendan b berada pada negara lain.

II. Beberapa Isu Pokok dalam Sebuah Kontrak Jual beli Internasional
1. Deskripsi barang dalam hal jenis, kualitas dan kuantitas
2. Harga
3. Penyerahan/ Pengiriman ( peralihan risiko dan tanggung jawab atas kerusakan han kehilangan barang )
4. Cara dan Waktu Pembayaran


Untuk materi Jual Beli Internasional akan dibahas dua Isu Pokok yaitu mengenai Penyerahan/ Pengiriman ( peralihan risiko dan tanggung jawab atas kerusakan han kehilangan barang ) yang mengacu pada syarat perdagangan INCOTERMS dan Cara Pembayaran yang mengacu pada cara pembayaran non L/C dan L/C


III. Peralihan risiko dan tanggung jawab atas kerusakan dan kehilangan barang dari penjual kepembeli sebagaimana yang ditentukan dalam INCOTERMS (International Commercial Terms )

1 Pendahuluan

INCOTERMS merupakan seperangkat peraturan internasional yang mengatur mengenai syarat-syarat perdagangan khususnya mengenai peralihan risiko dan tanggung jawab para pihak ( pembeli dan penjual )terkait pengiriman dan penyerahan barang dari penjual kepada pembeli. INCOTERMS ini dikembangkan oleh International Chamber of Commerce ( ICC) / Kamar/ Organisasi Dagang non pemerintahan Internasional. INCOTERMS pertama kali diadakan pada tahun 1936 selanjutnya disempurnakan secara terus menerus secara berkala mulai tahun 1953, 1967, 1976,1980,1990 dan terakhir tahun 2000 yang dikenal dengan INCOTERM 2000.

2. Struktur INCOTERM 2000
Terdiri dari Empat ( 4 ) kelompok yaitu kelompok E, F, C, dan D.

2.1 Syarat Perdagangan Kelompok E, Ex Works berarti bahwa penjual tidak lagi bertanggung jawab atas kehilangan dan kerusakan barang, manakala ia telah menyediakan barang-barang yang bersangkutan ditempat penjual sendiri atau nama tempat lainnya ( tempat kerja, pabrik, gudang ) untuk keperluan/ peruntukannya pada pembelilagi menanggung risiko.

2.2 Syarat Perdagangan Kelompok F.

a. Free Carrier ( FCA ), artinya Penjual menyerahkan barang-barang kepada pengangkut yang ditunjuk pembeli pada suatu tempat tertentu yang ditunjuk pembeli . Tanggung jawab atas kerusakan dan kehilangan barang beralih dari penjual ke pembeli pada saat barang diserahkan oleh penjual kepada pengangkut disuatu tempat yang tunjuk pembeli.

b. Free Alongside Ship ( FAS ) artinya pembeli wajib memikul semua biaya dan risiko kehilangan atau kerusakan barang-barang mulai pada satu titik / tempat dimana penjual telah menyediakan/ menempatkan barang-barang di samping ( alongside ) kapal di pelabuhan pengapalan. Syarat ini membawa akibat penjual mengurus formalitas eksport yang diperlukan. Syarat ini hanya dapat digunakan untuk angkutan laut dan sungai.

c. Free On Board ( Free On Board ) artinya pembeli wajib memikul biaya dan risiko atas kerusakan atau kehilangan barang barang mulai pada saat barang-barang berada diatas kapal di pelabuhan yang disebut atau dalam praktek tanggung jawab beralih ke pembeli pada saat lewatnya barang dari pagar kapal di pelabuhan pengapalan yang disebut. Syarat ini hanya dapat digunakan untuk angkutan laut dan sungai

2.3 Syarat Perdagangan Kelompok C

a. Cost and Freight ( C & F / CFR ) artinya FOB ditambah dengan kewajiban penjual untuk membayar biaya-biaya dan ongkos angkut yang perlu untuk mengangkut barang-barang sampai pelabuhan tujuan yang disebut. Syarat ini hanya dapat digunakan untuk angkutan laut dan sungai

b. Cost Insurance and Freight ( CIF ) artinya FOB, C & F, ditambah kewajiban penjual untuk menanggung biaya asuransi dari barang-barang. Syarat ini hanya dapat digunakan untuk angkutan laut dan sungai .

c. Carrier Paid To ( CPT) artinya peralihan risiko sama dengan syarat FAS,namun demikian penjual berkewajiban menyerahkan barang-barang kepada pengangkut yang ditunjuk sendiri dan membayar onkos angkut yang perlu untuk mengangkut barang-barang ketempat tujuan yang dimaksud. Syarat ini dapat digunakan untuk alat angkut apa saja

d. Carriage and Insurance Paid to ( CIP ) artinya peralihan risiko sama dengan syarat FAS, ditambah CPT dan kewajiban bagi penjual untuk menutup asuransi barang barang yang dikirim ketempat tujuan. Syarat ini boleh dipakai untuk alat angkut apa saja

2.4 Syarat Perdagangan Kelompok D

a. Delivered at Frontier artinya kewajiban menanggung biaya dan risiko atas kehilangan dan kerusakan barang beralih dari penjual kepada pembeli pada saat penjual telah menyediakan barang-barang yang di jual kedalam kewenangan pembeli pada saat datangnya alat angkut yang ditunjuk pembeli di daerah perbatasan mana saja ( termasuk perbatasan negara pengeksport ), namun barang-barang belum dibongkar. Syarat ini boleh dipakai untuk alat angkut apa saja bilamana barang-barang itu harus diserahkan diperbatasan daratan .

b. Delivered Ex Ship ( DES ) artinya tanggung jawab dan risiko atas kehilangan dan kerusakan barang beralih dari penjual kepada pembeli pada titik/ saat barang-barang sudah sampai pada pelabuhan tujuan disebut sebelum dibongkar. Syarat ini hanya dapat dipakai bilamana barang-barang diserahkan melalui alat angkut laut atau sungai.


c.Delivered Ex Quay ( DEQ ) artinya tanggung jawab dan risiko atas kehilangan dan kerusakan barang beralih dari penjual kepada pembeli pada titik/ saat barang-barang sudah sampai diatas pelabuhan/ darmaga tujuan dengan kondisi barang barang sudah dibongkar. Syarat ini hanya dapat dipakai bilamana barang-barang diserahkan melalui alat angkut laut atau sungai.

d. Delivered Duty Unpaid (DDU ) artinya risiko dan tanggung jawab penjual berakhir jika ia telah menyediakan barang-barang yang dijual ditempat tujuan yang disebut diatas alat angkut yang baru dan barang-barang belum dibongkar . Penjual wajib memikul semua biaya da risiko yang terkait dengan pengankutan barang-barang yang dijual sampai ketempat tujuan kecuali bea masuk ( pengurusan formalitas pabean, pembayaran biaya resmi, bea masuk, pajak pajak dan biaya-biaya lainya yang diperlukan


e. Delivered Duty Paid (DDP ) artinya risiko dan tanggung jawab penjual berakhir jika ia telah menyediakan barang-barang yang dijual ditempat tujuan yang disebut diatas alat angkut yang baru dan barang-barang belum dibongkar. Penjual wajib memikul semua biaya da risiko yang terkait dengan pengankutan barang-barang yang dijual sampai ketempat tujuan termasuk bea masuk ( pengurusan formalitas pabean, pembayaran biaya resmi, bea masuk, pajak pajak dan biaya-biaya lainya yang diperlukan.
(nwlawdocument7)

Selengkapnya...

Hukum Dagang

Hukum Dagang

Dalam melakukan suatu kegiatan perusahaan memang sangat menyentuh berbagai macam pola kehidupan yang ada dalam masyarakat sepert halnya masalah-masalah kelangsungan dari pada perusahaan itu sendiri.perubahan masyarakat dewasa ini yang sering lebih mengarah terhadap perkembangan dari pada teknologi modernisasi.
Menurut pengkajian para ahli yang menyatakan bahwa Pengusaha adalah seseorang yang melakukan atau menyuruh melakukan perusahaan. jadi sebagai pengusaha ia :
• Dapat melakukan perusahannya sendirian, tanpa pembantu
• Dapat melakukan perusahaan dengan pembantu pembantunya.
• Dapat menyuruh orang lain untuk melakukan perusahaannya, orang lain disini berkedudukan sebagai pemegang kuasa yang bertindak atas nama pengusaha si pemberi kuasa.

Bila ada dua orang pengusaha atau lebih yang kerja sama dalam melakukan usahanya maka akan terjadi bentuk-bentuk hukum yang berbentuk :
a. Persekutuan Perdata yang diatur dalam bab VIII, Buku II K.U.H. Perdata.
b. Persekutuan Firma, diatur dalam pasal 16 s/d 35 K.U.H.D.
c. Persekutuan Comanditer, diatur dalam pasal 19,20,21 K.U.H.D.
d. Perseroan Terbatas diatur dalam pasal 36 s/d 56 K.U.H.D.
e. Perusahaan Negara, diatur dalam UU no. 19 Prp. 1960.

Pembantu Dalam Perusahaan ( perantara dalam perusahaan)
Dalam menjalankan perusahaannya seorang pengusaha dapat bekerja sendirian atau dibantu oleh orang lain yang disebut " Pembantu-pembantu di dalam perusahan". Perusahaan yang dikerjakan sendirian oleh pengusaha disebut perusahaan perseorangan.


Pembantu-Pembantu Perusahaan ada 2 macam
A. Pembantu-pembantu dalam perusahan : Misalnya pelayan toko, pekerja keliling, pengurus filial, pemegang prokurasi, pimpinan perusahaan.
B. Pembantu-pembantu diluar perusahaan: Agen perusahaan, pengacara, notaris, makelar dan komisioner.
A. Pembantu-Pembantu Dalam perusahaan ( Perantara Dalam Perusahaan):
1. Pelayan Toko : semua pelayan yang membantu pengusaha dalam menjalankan perusahaan toko.
2. Pekerja keliling : Pembantu pengusaha yang bekerja keliling di luar kantor untuk memperluas dan memperbanyak perjanjian-perjanjian jual beli antara majikan dengan pihak ketiga.
3. Pengurus Filial : Petugas yang mewakili pengusaha mengenai semua hal tapi terbatas pada satu cabang/ satit daerah tertentu. Misalnya pimpinan pusat perusahaan ada di Jakarta, cabangnya di Denpasar adalah pengunis filialnya.
4. Pemegang Prokarasi ( Prokurate Houder) : Pemegang kuasa dari perusahaan, dia sebagai wakil pimpinan perusahaan/ wakil manajer atau ia mempunyai kedudukan sebagai kepala satu bagian besar dari perusahaan itu, tetapi ia bukan pimpinan dari seluruh perusahaan.
5. Pimpinan Perusahaan : Pemegang kuasa pertama dari pengusaha perusahaan dia mengemudikan seluruh perusahaan serta bertanggungjawab atas maju mundurnya perusahaan. Dalam istilah sekarang ia adalah Direktur Utama, sedangkan dibawahnya ada direktur-direktur.

Hubungan hukum antara pimpinan perusahaan dengan pengusaha bersifat :
1. Hubungan perburuhan yaltu hubungan yang bersifat subordinasi antara majikan atau buruh.Manager mengikatkan dirinya untuk menjalankan perusahaan dengan sebaik-baiknya,sedangkan pengusaha mengikatkan diri untuk membayar upah (pasal 160 1, a BW).
2. Hubungan pemberi kuasa yaitu suatu hubungan hukum yang diatur dalam pasal 1792 Bw. Pengusaha merupakan pemberi kuasa, sedangkan si manager merupakan pemegang kuasa.

Dua sifat hubungan tersebut diatas tidak hanya berlaku bagi pimpinan perusahaan, tetapi berlaku bagi semua pembantu pengusaha dalam perusahaan.
Karena hubungan hukum itu bersifat sempurna, maka berlakulah pasal 1601 BW yang menentukan bahwa segala peraturan mengenai perburuhan berlaku padanya. Kalau ada perselisihan antara kedua peraturan itu, maka berlakulah peraturan mengenai perjanjian perubahan (pasal 1601 C ayat l BW).

Perjanjian untuk melakukan pekerjaan.
Perjanjian ini diatur dalam Bab VII A, buku III K.U.H.Perdata ini untuk golongan Eropa, sedangkan untuk golongan bumi putra, Cina dan Timur Asing berlaku pasal 1601 (lama), 1602 (lama), clan pasal 1603 ( lama) K.U.H.Perdata.

Perjanjian untuk melakukan pekerjaan ada tiga macam.
1 . Perjanjian pelayanan berkala : yaitu perjanjian yang mengikat para pihak tentang apa saja yang diperjanjikan dalam perjanjian beserta syarats-yaratnya, kedudukan para pihak sederajat. Perjanjian ini diatur dalam pasal 1601 K.U.H. Perdata.
2. Perjanjian perburuhan diatur dalam pasal 1601 a jo pasal 1601 d s/d pasal 1603 z K.U.H.Perdata. dalam hubungan ini hubungan antara majikan dan buruh bersifat-subordinatif, dan pekerjaan yang diserahkan pada buruh harus mendapat persetujuan tertulis dari buruh.
3. Perjanjian Pemborongan : diatur dalam pasal 1601 b jo 1604 s/d 1617 K.U.H.Perdata, unsur pokok dari perjanjian ini yaitu harus ada suatu benda baru tertentu yang dihasilkan oleh pemborong.

Perjanijan Pemberi Kuasa
Perjanjian diatur dalam pasal 1792 s/d pasal 1918 K.U.H.Perdata pasal 1792 menentukan bahwa " pemberian kuasa dalah perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan pada orang lain yang menerimanya untuk atas nama si pernberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan". Perjanjian pernberian kuasa pada umumnya terjadi karena secara cuma-cuma tanpa upah kecuali diperjanjikan sebaliknya ( 1974), sedang perjanjian perburuhan selalu dimaksudkan untuk mendapatkan upah/ gaji.

B. Pembantu-Pembantu di Luar Perusahaan Yaitu Agen Perniagaan, Makelar dan Komisioner.
1. Agen Perniagaan
Agen Perniagaan (komersil agent) adalah seorang atau suatu perusahaan yang bertindak sebagai penyalur untuk menjualkan barang-barang keluaran perusahnaan -lain umumnya perusahnaan luar negeri dengan siapa ia mempunyai hubungan tetap.
Hubungan ini dapat berupa:
a. Perusahaan itu membeli barang-barang itu untuk perhitungnya sendiri mendapatkan kornisi kemudian menjualnya kembali.
b. Perusahaan itu merupakan wakil dari perusahaan yang memproduksi barang-barang Itu.
c. Perusahaan itu bertindak sebagai penyalur untuk memenuhi pembelinya dan mengusahakan suatu penawaran pembelian.
Agen perusahaan adalah orang yang melayani beberapa pengusaha sebagai perantara dengan pihak ketiga

Agen perusahaan:
• Mernpunyai hubungan tetap dengan pengusaha.
• Mewakili untuk mengadakan dan selanjutnya melaksanakan perjanjian dengan pihak ketiga atas nama pengusaha
• Kedudukan agen perusahaan dengan pengusaha adalah sederajat.
• Hubungan antara pengusaha dan agen perniagaan adalah merupakan hubungan pemberian kuasa.

Perbedaan antara pekerja Wiling dengan agen pemiagaan
1. Menurut pendapat Mollengraaff Pada pokoknya ditinjau dari sudut memberikan perantaraan, si pekerja keliling itu tidak berbeda dengan agen perniagaan yang juga menghubungkan pengusaha dengan pihak ketiga.
Akan tetapi pekerja keliling ada dalam ikatan perburuhan dengan majikan, sedangkan agen perniagaan sebagai agen perantara, berdiri sendiri biasanya terhadap beberapa pengusaha dengan mana ia tidak terikat karena perjanjian perburuhan, melainkan perjanjian untuk pelayanan berkala.
2. Drs. J.B.A.F.Mayor polak tidak tegas menyatakan pendapatnya mengenai hubungan hukum antara agen perniagaan dan pengusaha. Hanya beliau menunjuk pada beberapa putusan hakim yang berlainan.
Diantaranya ada yang sependapat dengan Mollengraaf tetapi ada pula yang memutuskan bahwa ada kalanya seorang agen perniagaan itu berada dalam ikatan perburuhan dengan pengusaha, mengingat akan beberapa ketentuan-ketentuan di dalam perjanjiannya yang konkrit dengan pengusaha itu. menurut H.M.N. Purwosutjipto, SH, hubungan antara agen perusahaan dengan pengusaha hanya bersifat pernberian kuasa.
Seorang agen perniagaan selalu bertindak atas nama pengusaha dan juga mewakili pengusaha maka disini juga ada hubungannya pemberi kuasa. Perjanjian bentuk ini selalu mengandung unsur perwakilan (Volmacht) bagi pemegang kuasa. Dalam hal ini agen perniagaan sebagai pemegang kuasa, mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga atas nama pengusaha. Di Indonesia kedudukan seorang agen perniagaan belum diatur dalam perundang-undangan karena komunikasi perdagangan pada waktu itu dengan luar negri belum banyak atau masih dalam tahap perkembangan. Lain halnya di luar negri, dimana perdagangan luar negri telah meningkat seperti di Inggris, Belanda, dan AS.
Sebagai perbandingan, serta mengingat perkembangan kedudukan agent di Indonesia, maka disini akan kami uraikan tentang kedudukan agent di AS.
Hubungan kedudukan agen perniagaan dengan prinsipalnay diatur dalam suatu kontrak yang disebut "Agentuur Contract" yaitu suatu kontrak agency dimana ditentukan antara lain mengenai :
a. Daerah perwakilannya ( agencynya).
b. Lamanya kontrak itu berlaku.
c. Berkuasa tidaknya menutup perjanjian.
d. Jumlah provisi dan penggantian ongkos.

Agen perniagaan hanya boleh dituntut menanggung kerugian karena tidak masuknya pembayaran dari pembeli paling banyak sejumlah privisi yang akan diterimanya. Mengingat tugasnya, maka dikenal agen beli dan agen jual, disamping dikenal pula :
a. Agen Jendral (agen tunggal) adalah wakil satu-satunya untuk seluruh negeri. Biasanya dalam kontrak disebutkan jumlah penjualan yang dilakukan minimum 1 tahun, sedangkan untuk penjualan itu ia harus dapat memberikan jaminan bank.
b. Agen kepala adalah : mewakili suatu firma dalam suatu daerah keresidenanan atau kota besar.
c. Sub agen adalah agen dari agen kepala dengan daerah yang lebih kecil.

Selanjutnya besarnya provesi atau upah yang diterima oleh seorang agen perniagaan umumnya terdiri dari jumlah persentase harga penjualan atau transaksi yang dapat diselenggarakan olehnya.

2. Pengacara
Adalah orang yang mewakili pengusaha baik dalam dalam perkara dimuka hakim maupun segala persoalan hukum di luar hakirn. Dasar hubungannya adalah pemberian kuasa dan pelayanan berkala. Hubungan hukumnya tidak tetap.

3. Notaris:
Seorang notaris dapat membantu pengusaha dalam membuat perjanjian-perjanjian dengan pihak ketiga. Hubungan notaris dengan pihak pengusaha bersifat tidak tetap, dan hubungan hukumnya bersifat pelayanan berkala dan pemberian kuasa.

4.Makelar:
Mengenai makelar ini diatur dalam Buku I pasal 62 - 72 K.U.H.D. Menurut pengerti an UU adalah seorang perantara yang menghubungkan pengusaha dengan pihak ketiga untuk mengadakan perjanjian.
Dalam pasal 64 K.U.H.D disebutkan contoh beberapa macam perjanjian misalnya : perjanjian jual beli barang dagang, surat-surat berharga, asuransi, pengangkutan dengan kapal dan lain-lain.

Makelar mernpunyai ciri-ciri khusus yaitu:
a. Makelar harus mendapat pengangkatan resmi dari menteri kehakiman( pasal 62 ayat 1)
b. Sebelum menjalankan tugasnya, makelar harus bersumpah dimuka ketua pengadilan, bahwa dia akan menjalankan kewajibannya dengan baik (pasal 62 ayat 2)

Mengenai makelar ini diatur dalam pasal 62 - 72 K.U.H.D dan menurut pasal 62 ayat I makelar mendapat upah yang disebut provisi atau courtage.
Makelar adalah bentuk pedagang yang tertua. la adalah wakil dalam arti Undang-Undang. Makelar berbuat atas nama dan tanggungan yang memberi kuasa (pengusaha)/prensipalnya. Dengan prensipalnya itu dia tidak mempunyai hubungan/ikatan yang tetap.
Pengangkatan untuk menjadi makelar umumnya hanya unttuk satu tempat dan berlaku untuk satu atau beberapa macam barang.
Makelar untuk semua macam barang perniagaan jarang dijumpai.
Larangan-larangan bagi makelar.
1. Apabila ia sudah diangkat menjadi makelar dari suatu macam barang, maka ia dilarang untuk berniaga mengenai barang itu.
2. Ia juga tidak boleh menjadi borg (penjamin) dalam perjanjian yang dibuat dengan perantaranya.

Menurut Polak, larangan tersebut diatas selalu dilanggar dengan tidak berakibat buruk bagi makelar. Itulah sebabnya Mr. Heemskerk, Menister Van Justitie Nederland mengajukan rencana Undang-undang tentang perubahan peraturan-peraturan mengenai makelar. Dalam rencananya makelar dijadikan pekerjaan bebas. Rencana tersebut diterima parlemen dengan perubahan-perubahan dan tidak berlaku di Indonesia.

Adapun kewajiban seorang makelar meliputi antara lain:
1. Membuat buku catatan mengenai tindakannya sebagai makelar.Setiap hari catatan itu disalin dalam buku harian dengan keterangan yang jelas, misaInya :
• Saat terjadinya perjanjian dan penyerahan
• Jenis serta banyaknya benda
• Harga benda
• Klausula perjanjian serta syarat-syarat yang dijanjikan.
2. Siap sedia setiap saat untuk memberi kutipan dari buku-buku kepada pihak-pihak yang bersangkutan terutama mengenai pembicaraan dan tindakan yang dilakukan dalam hubungan dengan transaksi yang diadakan (pasal 68 K.U.H.D)
3. Menyimpan monster (contoh barang) sampai penyerahan barang itu dilakukan (pasal 69 K.U.H.D).
4. Menjamin kebenaran tanda tangan dari penjual dalam perdagangan surat wesel atau surat-surat berharga lainnya yang tercantum dalam surat-surat tersebut.

Kemudian dalam pasal 68 K.U.H.D disebutkan bahwa pembukuan seorang makelar mempunyai kekuatanm pembuktian khusus dan sempurna. Dan sebagai seorang yang diangkat pemerintah makelar mernpunyai hak retentie yaitu hak penahanan. Misalnya hak untuk menahan barang apabila harga barang belum dibayar.
Seorang makelar yang tidak memenuhi kewajibannya dapat dikenakan sanksi sebagai mana tercantum dalam pasal 71 sampai dengan 73 K.U.H.D. yang meliputi : sehersing/pemecatan dan penggantian kerugian kepada kliennya.
• Pasal 71 K.U.H.D menegaskan bahwa apabila seorang makelar membuat pelanggaran terhadap kewajiban yang ditetapkan menurut UU, la oleh Pengadilan Negeri ditempat tinggalnya atau atas permintaan kliennya dapat di schor atau dicabut jabatannya.
• Pasal 72 K.U.H.D : dalam hal ini yang bersangkutan jatuh pailit maka ia dapat di schor dati Jabatannya yang oleh Pengadilan Negeri (PN) dapat dilanjutkan dengan pemecatan.
• Pasal 73 K.U.H.D. : seorang makelar yang telah dilepas dari jabatannya sekati-kati tidak boleh diangkat kembali dalam jabatan itu.

Prosedur pengangkatan makelar dilakukan sebgai berikut :
• Calon makelar memasukkan permohonannya kepada PN, dalam mata perniagaan apa ia ingin menjadi makelar.
• Kemudian beberapa firma yang terkenal menyokong permohonan tersebut dengan pernyataan setuju dan membubuhi tanda tangan diatas permohonan tersebut.
• Pengadilan meminta pertimbangan dari DPP/Kadin, dulu Kamer Van Koophandel, perkumpulan perniagaan, perkumpulan makelar dan Jaksa. Alasan pertimbangannya Pengadilan menentukan dapat tidaknya permohonannya diluluskan.
• Selanjutnya dalam sumpahnya makelar berjanji bahwa ia akan memenuhi kewajibannya dengan setia dan baik.

Makelar tidak resmi
Sebagaimana kita ketahui makelar itu adalah suatu jabatan yang resmi yang artinya makelar itu harus mendapat pengangkatan dari menteri kehakiman dan sebelum menjalankan tugasnya dia harus bersumpah di muka Ketua Pengadilan Negeri setempat.
Tampaknya pembentuk Undang-Undang tidak memberi kedudukan monopoli kepada makelar, temyata dengan adanya sebuah pasal yang memperbolehkan adanya makelar yang tidak resmi yakni tanpa pengangkatan dari Menteri kehakiman dan tanpa sumpah yaitu pasal 63 K.U.H.D yo pasal 1792 K.U.H.D Perdata. Dalam hal ini makelar tidak resmi ini dipandang sebagai pemegang kursi kuasa biasa, perbedaannya dengan makelar resmi adalah sebagai berikut;
• Pemegang kuasa mendapat upah, bila dikatakan demikian dalam perjanjian (pasal 1974 BW). Sedang makelar harus mendapat upah yang disebut provisi, bila pekerjaan sudah selesai (pasal 62 K.U.H.D)
• Pemegang kuasa harus membuat catatan menurut pasal 6 K. U. H. D.
• Sedangkan makelar harus membuat buku harian menurut pasal 66 dan 68 K.U.H.D.
• Makelar bekewajiban menyimpan contoh barang dalam jual beli contoh (pasal 69 K.U.H.D ) sedangkan pemegang kuasa tidak berkewajiban untuk itu.
• Makelar harus menanggung sahnya tanda tangan penjual wesel atau surat berharga lainnya. (pasal 70 K.U.H.D) Sedangkan pada pemegang kuasa kewajiban ini tidak ada.

5. Komisioner
Menurut pasal 76 K.U.H.D, maka seorang komisioner dirumuskan sebagai orang yang melakukan tindak perusahaan untuk mengadakan persetujuan atas perintah dan perhitungan orang lain yang disebut komiten, akan tetapi persetujuan itu tidak dilakuakn atas komitennya, melainkan atas namanya sendiri atau firmanya dan dengan ini, menerima upah yang disebut provisi atau komisi.
Apabila seorang komisioner mengadakan pernbelian atau penjualan maka ia sendiri yang terikat pada perjanjian tersebut dan ia yang berhak menagih uang penjualan. Komiten dalam hal ini tidak mempunyai hak menagih sama sekali, walaupun hal itu dilakukan atas perintah dan untuk kepentingan komitennya.
Hak dan kewajiban komisioner dan komiten terhadap satu sama lain, selain terdapat dalam K.U.H.Perdata dan K.U.H.D), juga ditentukan oleh persetujuan antara mereka yang disebut "Comissie Contract" serta kebiasaan makelar dan komisioner. keduanya merupakan perantara dalam perniagaan, dan menjalankan pekerjaan untuk orang lain.


Ciri-Ciri khas komisioner
1. Tidak ada syarat pengangkatan resmi dan penyumpahan sebagaimana halnya makelar
2. Komisioner menghubungkan komiten dengan pihak ketiga atas namanya sendiri. (pasal 76)
3. Komisioner tidak berkewajiban untuk menyebut nama komitennya. (pasal 77 (1)).
4. Komisioner dapat bertindak atas nama pemberi kuasanya (pasal 79).

Sifat-Sifat Perjan-jian Komisi
Perjaniian Komisi adalah perjanjian antara komisioner dan koiniten, yakni perjanjian pemberian kuasa dan dari perjanjian itu timbul hubungan hukum yang tidak tetap.
Mengenai sifat hukum perjanjian komisi ini ada beberapa pendapat:
1. Polak, mengatakan hubungan itu bersifat perjanjian kuasa khusus.
2. Mollengraaff, berpendapat bahwa perjanjian kuasa itu merupakan perjanjian campuran antara perjanjian pelayanan berkala dan perianjian pemberian kuasa.
3. Prof, Soekardono, lebih cenderung pada pendapat Polak.

Berakhinya pemberian kuasa pada perjanjian komisi
Pemberian kusa ini seleai dengan meninggalnya sipemberi atau pemegang kuasa.Bila pemberi kuasa meninggal dunia sedang perjanjina komisi belum selesai maka komisioner wajib melaksanakan /menyelesaikan dengan baik dan bila yang meninggal itu komisioner maka ahli warisnya wajib memberitahukan hal itu kepada pemberi kuasa dan kewajiban untuk bertindak demi kepentingan komisioner.
(nwlawdocument7)

Selengkapnya...

Minggu, 26 April 2009

Analisis Kasus Perdata

LAPORAN ANALISIS Kasus Perdata
mengenai
PUTUSAN NOMOR : 02/Pdt.G/PA.Dps

A. Para pihak yang bersengketa
Penggugat : Mujinawati binti hartoyo yang memberikan kuasa kepada:
Dody Rusdiyanto, SH, Didik Trisula, SH, dan A.Rauf Jawas, SH
Tergugat : I Nyoman Sumarta bin I Nyoman Intaran yang memberikan kuasa
kepada: Z. Nurindahwati, SH dan Ni Wayan Sukarni, SH
B. Duduk sengketa
Menimbang bahwa penggugat dalam surat gugatannya tertanggal 2 januari 2006 yang terdaftar dalam buku register perkara peradilan agama denpasar dengan nomor : 02/Pdt.G/2006/PA.Dps mengemukakan beberapa macam alasan dari gugatan tersebut. Dimana dari gugatan tersebut adalah mengenai ketidak harmonisan rumah tangga yang dikarenakan tidak adanya kecocokan antara penggugat dan tergugat dikarenakan tergugat pindah agama atau kembali ke Agama semula yaitu Hindu. Adapun dari perkawinan penggugat dan tergugat telah menghasilkan 2 (dua) orang anak bernama : I Made Aditya Marta Sutarama, laki-laki, umur 11 tahun dan I komang Ram Pramartha, laki-laki, umur 3 tahun. Dalam hal ini pengugat sudah tidak sanggup lagi untuk membina rumah tangga dengan tergugat, maka penggugat mohon kepada Ketua Pengadilan Agama untuk menyatakan fasak perkawinan antara tergugat dengan penggugat.

C. Anatomi Putusan Hakim Pengadilan Negeri
Berdasarkan undang-undang no. 14 tahun 1970 jo. UU no. 04 tahun 2004 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, maka Putusan Pengadilan Negeri nomor : 02/Pdt.G/2006/PA.Dps telah memenuhi syarat-syarat untuk sahnya suatu pengadilan dengan penjabaran sebagai berikut:
a) Kepala putusan yang berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASRKAN KETUHANAN YANG MEHA ESA”
Putusan ini telah memenuhinya.
b) Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau kedudukan para pihak yang bersengketa atau identitas para pihak
Putusan ini telah memenuhinya, yaitu:


Mujinawati Binti Hartoyo, umur 31 tahun, agama islam, pekerjaan swasta, alamat bertempat tinggal di kuasa hukumnya, dalam hal ini disebut sebagai PENGGUGAT.

I Nyoman Sumarta Bin I Nyoman Intaran, umur 35 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, alamat jl. Padma Beteng Sari Gg. Nusa Indah 33 Tonja, denpasar timur, selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT.
c) Ringkasan gugatan dan jawaban gugatan yang jelas
Ringkasan gugatan :
1) Tidak adanya kecocokan antara penggugat dan tergugat dikarenakan tergugat pindah agama atau kembali ke Agama semula yaitu Hindu.
2) Bahwa perkawinan antara penggugat dan tergugat melahirkan 2 orang anak, yaitu : I Made Aditya Marta Sutarama, laki-laki, umur 11 tahun dan I komang Ram Pramartha, laki-laki, umur 3 tahun.
3) Dalam hal ini penggugat menyatakan sebagai pengasuh atau pemelihara kedua anak tersebut diatas dikarenakan anak dari hasil perkawinan penggugat dan tergugat masih dibawah umur dan pihak tergugat harus bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan terhadap kedua orang anak yang setiap bulannya adalah sebesar Rp. 1.000.000,-(satu juta rupiah).

4) Bahwa perkawinan antara penggugat dan tergugat telah menghasilkan harta bersama terhitung sejak tahun 1994 s/d tahun 2005 menurut ketentuan undang-undang perkawinan nomor 01 tahun 1974 baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak antara lain:
I. Benda tidak bergerak berupa:
Sebidang tanah dan bangunan seluas 200 M2 yang terletak di jln. jl. Padma Beteng Sari Gg. Nusa Indah 33 Tonja, denpasar timur, sertifikat atas nama tergugat I Nyoman Sumarta senilai Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
II. Benda bergerak berupa:
Motor Shogun seharga Rp.6.000.000,- (enam juta rupiah).

5) Segala harta benda menjadi hak bersama sejak terjadinya perkawinan sehingga jika terjadinya perceraian maka harta tersebut harus dibagi sama rata antara bekas suami istri, pembagiannya yakni : ½ x Rp. 206.000.000,- = Rp. 103.000.000,- (seratus tiga juta rupiah).

6) Selama proses pemeriksaan perkara ini berlangsung tidak dijual dan/atau dipindah tangankan atau dibebani sutu hak oleh tergugat kepada orang lain atau pindah ke tiga, maka diletakkanya sita jaminan terhadap harta bersama yang diperoleh selama perkawinan baik terhadap benda bergerak maupun tidak bergerak.

7) Bahwa selanjutnya penggugat mohon sebagaimana yang terurai dalam petitum gugatan.

Jawaban Gugatan:
1) Menyatakan benar bahwa Mujinawati binti hartoyo dan I Nyoman Sumarta bin I Nyoman Intaran sudah tidak adalagi kecocokan karena tergugat I Nyoman Sumarta pindah agama atau kembali keagama Hindu.

2) Menyatakan benar bahwa perkawinan antara penggugat dan tergugat melahirkan 2 orang anak, yaitu : I Made Aditya Marta Sutarama, laki-laki, umur 11 tahun dan I komang Ram Pramartha, laki-laki, umur 3 tahun.

3) Bahwa perkawinan antara penggugat dan tergugat telah menghasilkan harta bersama terhitung sejak tahun 1994 s/d tahun 2005.

4) jika terjadinya perceraian maka harta tersebut harus dibagi sama rata antara bekas suami istri, pembagiannya yakni : ½ x Rp. 206.000.000,- = Rp. 103.000.000,- (seratus tiga juta rupiah).
d) Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa
1. Menimbang bahwa berdasarkan atas jawaban gugatan baik replik, duplik, baik penggugat dan tergugat harus membuktikan dalilnya masing-masing.
2. Menimbang bahwa sebelumn Majelis mempertimbangkan lebih lanjut hal-hal yang menjadi perselisihan antara penggugat dan tergugat terlebih dahulu untuk menetapkan hal atau peristiwa yang diakui kebenarannya oleh kedua belah pihak yang berperkara.
3. Menimbang bahwa saksi-saksi dari kedua belah pihak yang diajukan keterangannya harus disumpah terlebih dahulu di persidangan.
4. Menimbang bahwa menurut undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 sejak adanya perkawinan maka telah terjadi harta bersama dan apabila terjadinya perceraian maka akan dilakukan pembagian dengan jumlah yang seimbang atau sama.
5) Menimbang bahwa hak asuh anak jatuh kepada penggugat dikarenakan hasil dari perkawinan yaitu 2 orang anak yang bernama I Made Aditya Marta Sutarama, laki-laki, umur 11 tahun dan I komang Ram Pramartha, laki-laki, umur 3 tahun. Belum cukup umur dan perlu kasih sayang seorang ibu sehingga dianggap belum mumayiz dan khawatir dengan akidahnya.
6) Menimbang berdasrkan pasal 89 ayat 1 undang-undang nomor 7 tahun 1989 biaya perkara ini dibebankan kepada penggugat.

e) Alasan hukum yang menjadi dasar putusan
Berdasarkan Undang-undang nomor 14 tahun 1970 jo. Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan pokok kehakiman, dan undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974.

f) Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara



MENGADILI
Dalam pokok perkara :
1. Mengabulkan gugatan penggugat dengan Verstek.
2. Menfasakan perkawinan antara penggugat (Mujinawati binti hartoyo) dengan tergugat (I Nyoman Sumarta bin I Nyoman Intaran)
3. Menetapkan penggugat sebagai pengasuh anak yang bernama I Made Aditya Marta Sutarama, laki-laki, umur 11 tahun dan I komang Ram Pramartha, laki-laki, umur 3 tahun.
4. Mebebankan penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.306.000,- (tiga ratus enam ribu rupiah).

Rincian Biaya Perkara :
1. Biaya administrasi : Rp. 50.000,-
2. Biaya APP : RP.100.000,-
3. Biaya Panggilan : Rp.150.000,-
4. Biaya Materai : Rp. 6.000,-
Jumlah : Rp.306.000,-
(tiga ratus enam ribu rupiah)

g) Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan tentang hadirnya atau tidak hadirnya para pihak
1. Hari : Senin
2. Tanggal Putusan : 6 Februari 2006 bertepatan tanggal
7 Muharam 1427 H.
3. Nama Hakim yang memutus :
• Drs.H. Muslim Latief, SH. ( sebagai Ketua Majelis Hakim )
• Hj. Indiyah Noerhidayati, SH. ( sebagai Hakim Anggota I )
• Drs. Hafiz. ( sebagai Hakim Anggota II )
4. Nama Panitera :
• Ramli, SH. ( sebagai Panitera Pengganti )
5. Keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak
“ dihadiri oleh penggugat tanpa hadirnya tergugat. “

D. Kesimpulan
Sebagaimana dengan penjelasan tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Surat Putusan dengan nomor 02/Pdt.G/2006/PA.Dps tertanggal 2 januari 2006 tersebut telah memenuhi syart-syarat sesuai dengan undang-undang nomor 14 tahun 1970 jo undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehakiman dan sudah sesuai dengan unang-undang pokok tentang perkawinan nomor 1 tahun 1974 maka dengan lengkapnya syarat-syarat tersebut diatas putusan ini dapat dikatakan sah dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(nwlawdocument7)

Selengkapnya...

Hukum Acara Perdata

Hukum Acara Perdata
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Gugatan perwakilan kelompok atau yang lebih dikenal dengan istilah class action yakni merupakan suatu prosedur pengajuan gugatan dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Dalam kenyataannya gugatan secara class action banyak sekali terjadi akhir-akhir ini, terutama kasus-kasus yang mengakibatkan kerugian yang besar bagi masyarakat. Akan tetapi masih banyak juga masyarakat awam yang tidak mengerti mengenai arti atau makna class action itu sendiri. Seperti diketahui, munculnya beberapa kasus gugatan perwakilan kelompok, baik gugatan class action maupun legal standing ke pengadilan akhir-akhir ini merupakan salah satu fenomena baru dalam praktik peradilan perdata di Indonesia. Meskipun demikian pada umumnya gugatan legal standing yang diajukan ke pengadilan selama ini hampir selalu dinyatakan tidak diterima atau Niet Onvankellijk verklaard, dimana hal itu terjadi dikarenakan beberapa alas an diantaranya adalah secara procedural gugatan class action dan legal standing belum diatur secara jelas dalam perundang-undangan. Selain itu sering pula dipersoalkan apakah pihak penggugat yang mengajukan gugatan secara hukum mempunyai kapasitas atau kewenangan untuk mengatasnamakan kepentingan public atau kepentingan masyarakat kelompok yang diwakilinya.


Class action itu sendiri sebenarnya lebih dikenal di Negara-negara yang menganut sistem hukum common law daripada di Negara-negara yang menganut sistem hukum civil law. Dimana dalam sejarahnya sendiri class action pertama kali diperkenalkan di Inggris, dimana merupakan Negara yang melahirkan sistem common law. Dan di Negara-negara yang tidak menganut sistem common law tersebut hanya mengadopsi dan disesuaikan dengan hukum yang berlaku di negaranya masing-masing, termasuk juga Indonesia. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa hak gugat (legal standing) baru dimilik oleh beberapa ORNOP-ORNOP di Indonesia yaitu diantaranya organisasi lingkungan hidup, organisasi perlindungan konsumen, dan organisasi bidang kehutanan. Dan sekiranya kita perlu mengetahui apa class action itu sebenarnya dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pengajuan gugatan tersebut.

1.2 Rumusan masalah
Bagaimanakah perkembangan Class Action di Indonesia serta bagaimanakah penerapan praktek Class Action pada kasus yang terjadi di Indonesia?

1.3 Ruang Lingkup
Dalam tulisan ini mencakup masalah gugatan class action di Indonesia serta penerapannya dalam praktek pada kasus yang terjadi di Indonesia.

1.4 Metode penulisan
Metode yang penulis dipergunakan dalam mengkaji permasalahan tersebut di atas adalah dengan mengunakan metode normatif dan metode kepustakaan. Metode normatif artinya penulis menggunakan bahan-bahan hukum primer seperti undang-undang dan peraturan lainnya dalam menganalisis dan mengakaji permasalahan. Penulis mencari sendiri dalam bahan hukum primer tersebut hal-hal yang berhubungan dengan pemecahan permasalahan yang telah diatur dalm hukum primer yang sudah berlaku secara normatif. Sedangkan metode kepustakaan, artinya penulis menggunakan bahan-bahan hukum sekunder dalam memberikan pemecahan permasalahan. Bahan hukum sekunder itu diantarannya berbagai buku bacaan dan berbagai literatur yang ditulis oleh para sarjana dan berbagai sumber informasi yang dapat digunakan seperti dalam internet dan sebagainya.
Sedangkan teknik pengolahan data pada karya tulis ini adalah dianalisis secara kualiitatif berdasarkan data acuan berupa suatu kasus sehingga mendapat suatu data yang valid (sah) tentang permasalahan yang dibahas.














BAB II
PEMBAHASAN

Seperti telah diketahui, bahwa istilah class action itu sendiri tidak begitu dikenal di Negara-negara yang tidak menganut sistem hukum common law. Akan tetapi dinegara-negara tersebut hanya mengadopsi class action tersebut dan disesuaikan dengan hukum yang berlaku di negaranya masing-masing. Di Indonesia sendiri sejarah class action dibagi atas dua periode yaitu sebelum adanya pengakuan class action dan setelah adanya pengakuan class action. Adapun yang menjadi tolak ukur dari pengakuan class action adalah dengan dikeluarkannya UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
a. Periode sebelum adanya pengakuan class action
Meskipun sebelum tahun 1997 belum ada aturan hukum yang mengatur mengenai class action, namun gugatan class action sudah pernah dipraktekkan dalam dunia peradilan di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya gugatan class action yang pertama kali dilakukan di Indonesia yaitu pada tahun 1987 terhadap kasus R.O. Tambunan melawan Bentoel Remaja, Perusahaan Iklan, dan Radio Swasta Niaga Prambors dimana diajukan di PN Jakarta Pusat. Menyusul kemudian kasus Muchtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta dan Kakanwil Kesehatan DKI (kasus endemic demam berdarah) di PN Jakarta Pusat pada tahun 1988 dan kasus YLKI melawan PT.PLN Persero (kasus pemadaman listrik se-Jawa Bali tanggal 13 April 1997) pada tahun 1997 di PN Jakarta Selatan.

b. Periode setelah adanya pengakuan class action
Class action dalam hukum positif di Indonesia baru diberikan pengakuan setelah diundangkannya UU Lingkungan Hidup pada tahun 1997 yang kemudian diatur pula dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU Kehutanan pada tahun 1999. Akan tetapi ketiga UU tersebut tidak mengatur secara rinci mengenai prosedur dan acara dalam gugatan perwakilan kelompok (class action). Sebelum tahun 2002 gugatan secara class action dilaksanakan melalui prosedur yang sama dengan gugatan perdata biasa. Adapun ketentuan khusus yang mengatur mengenai acara dan prosedur class action baru diatur dalam PERMA No. I Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Dalam aturan hukum Indonesia pengaturan mengenai class action diatur dalam bentuk perundang-undangan, diantaranya yaitu :
A. UU No.23 Tahun1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dalam pasal 37 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.
Adapun syarat dalam pengajuan gugatan dalam UU ini adalah sbb:
a. berbentuk badan hukum atau yayasan
b. dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup
c. telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

B. UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 46 ayat 1 huruf b menyebutkan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Selanjutnya dalam penjelasannya menyebutkan bahwa undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan ini harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satunya adalah adanya bukti transaksi.
Adapun syarat dalam pengajuan gugatan dalam UU ini adalah sbb:
a. harus berbentuk badan hukum atau yayasan
b. dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

C. UU No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Dalam pasal 38 ayat 1 Undang-undang No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara orang-perorangan, kelompok dengan pemberian kuasa, kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan.

D. UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Diatur dalam pasal 71 ayat 1 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
Adapun syarat dalam pengajuan gugatan ini adalah:
a. berbentuk badan hukum
b. dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

E. Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
Dimana terdiri dari 6 bab yaitu:
I. Mengenai ketentuan umum
II. Mengenai tata cara dan persyaratan gugatan perwakilan kelompok
III. Mengenai pemberitahuan atau notifikasi
IV. Mengenai pernyataan keluar
V. Mengenai putusan
VI. Mengenai ketentuan penutup
Wakil kelompok dalam class action harus dibedakan dengan ORNOP yang oleh peraturan diberi hak gugat (legal standing) mewakili kepentingan orang banyak, misalnya para konsumen, kepentingan perlindungan lingkungan, hutan, dsbnya. Wakil kelompok dalam class action berasal dari kelompok yang mempunyai kepentingan dan mengalami kerugian yang sama dengan kelompok yang diwakilinya, sedangkan oraganisasi lingkungan, organisasi konsumen, organisasi kehutanan, dsbnya bukan pihak yang mengalami kerugian atau permasalahan secara konkret.
Meskipun beberapa peraturan perundang-undangan diatas sudah meletakkan dasar-dasar gugatan perwakilan kelompok, akan tetapi implementasinya sering dihadapkan pada kendala teknik procedural, karena seperti diketahui bahwa dalam hukum acara perdata positif Indonesia dianggap tidak mengatur procedur gugatan perwakilan kelompok.
Adapun ketentuan mengenai prosedur pengajuan gugatan ini diatur secara khusus dalam PERMA No.1 tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok. Namun sepanjang tidak diatur PERMA No. 1 tahun 2002 maka dapat berlaku juga ketentuan dalam hukum acara perdata yang berlaku (HIR/RBg). Dalam kasus class action berlaku juga ketentuan hukum acara perdata yang mensyaratkan, apabila wakil kelompok pihak diwakili atau didampingi oleh pengacara maka diwajibkan untuk membuat surat kuasa khusus antara wakil kelompok kepada pengacara. Adapun hal yang menarik pada pengacara dalam class action adalah dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 pasal 2 huruf d dimana menyebutkan bahwa hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan pergantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompok. Dalam hal ini sebenarnya diperlukan adanya keberanian hakim untuk melakukan terobosan hukum dengan melakukan penemuan hukum (rechvinding), dalam upaya membuat putusan-putusan yang memenuhi perasaan keadilan masyarakat meskipun suatu perkara tidak diatur secara jelas dalam perundang-undangan. Adapun hakim dapat menggunakan metode penemuan hukum yang ada, seperti interprestasi, analogi maupun eksposisi/konstruksi hukum. Hakim tidak perlu terpaku pada undang-undang saja, tetapi hakim dapat mempergunakan sumber hukum lainnya seperti hukum kebiasaan, yurisprudensi, doktrin, SEMA/PERMA, dll.
Dengan diakui dan diterimanya gugatan perwakilan, baik legal standing maupun class action tersebut dalam praktik maka terdapat beberapa manfaat utama, yaitu:
1. mencapai peradilan yang lebih ekonomis
2. memberi peluang yang lebih besar ke pengadilan, dan
3. merubah perilaku yang tidak pantas dari para pelanggar atau
orang-orang yang potensial melakukan pelanggaran.
Adapun terdapat beberapa kasus class action yang dapat kita lihat sebagai bahan kajian dalam memahami mengenai gugatan class action ini, yaitu salah satunya adalah mengenai kasus gugatan class action Banjir Jakarta Tahun 200. kasus posisinya yaitu dimana pada tahun 2002 tepatnya pada bulan Januari-Februari 2002 terjadi banjir yang sangat besar di Jakarta dan sekitarnya yang mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit baik materiil maupun immaterial yang sifatnya individual maupun komunal yang diderita oleh kurang lebih 8.300.000 jiwa warga Jakarta. Kerugian tersebut terjadi salah satunya disebabkan karena tidak adanya peran pemerintak sebagai pelayan public terutama dalam hal pemberian peringatan dini dan respon cepat darurat pada waktu terjadinya peristiwa tersebut. Berdasarkan hal tersebut warga Jakarta melakukan upaya hukum untuk menuntut perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, dan karena korban jumlahnya banyak, serta memiliki kesamaan fakta, dasar hukum, serta kesamaan jenis tuntutan maka digunakan prosedur gugatan class action. Adapun gugatan diajukan di PN Jakarta Pusat pada bulan Maret 2002, dimana sebagai penggugat adalah warga Jakarta korban banjir yang terdiri dari 15 orang wakil kelompok yang memiliki penggugat dalam klasifikasi wakil kelompok sbb:

1. korban banjir yang mengalami kerugian/hilangnya jiwa
2. korban banjir yang menderita sakit
3. korban banjir yang menderita kerugian kehilangan harta benda
4. korban banjir yang menderita kerugian kerusakan harta benda
5. korban banjir yang menderita kerugian kehilangan keuntungan yang seharusnya didapatkan.
Sedangkan dasar kesamaan kedudukan dan kepentingan hukum para wakil kelompok dalam kaitan dengan prosedur gugatan class action pada waktu itu dipakai beberapa ketentuan yang secara eksplisit mengatur prosedur gugatan class action seperti UU No.23 Tahun 1997 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta beberapa peraturan lain serta yurisprudensi yang ada. Sedangkan sebagai tergugat adalah:
1. Negara RI cq. Presiden RI sebagai tergugat I
2. Negara RI cq. Presiden RI cq. Gubernur Kepala Daerah Tk 1
Prov. DKI Jakarta sebagai tergugat II
3. Negara RI cq. Presiden RI cq. Gubernur Kepala Daerah Tk. 1
Prov. Jawa Barat sebagai pihak turut tergugat.
Pada tanggal 26 Maret 2002 berlakulah Perma No. 1 Tahun 2002 yang mengatur acara gugatan perwakilan kelompok, sehingga beberapa aturan dalam Perma ini kemudian dijadikan alasan bagi para tergugat dan turut tergugat dalam mengajukan eksepsinya, beberapa hal yang dipermasalahkan diantaranya adalah:
 Gugatan tidak mendasarkan pada aturan/UU spesifik yang telah mengatur /mencantumkan mekanisme gugatan perwakilan kelompok.
 Sesuai dengan PERMA untuk sahnya gugatan perwakilan kelompok harus dituangkan dalam bentuk penetapan sehingga gugatan harus dianggap premature dan dinyatakan tidak diterima.
 Penggunaan istilah wakil kelas sebagai pengganti istilah penggugat.
 Mempertanyakan legalitas wakil kelas.
Akan tetapi majelis hakim tidak mengabulkan eksepsi dari tergugat dan turut tergugat dalam putusan selanya dengan pertimbangan hukum karena ketika pemeriksaan dimulai PERMA belum berlaku sehingga ketentuan dalam PERMA yang muncul kemudian tidak dapat berlaku surut. Dalam putusan selanya Majelis juga menetapkan untuk melanjutkan proses peradilan untuk memeriksa pokok perkaranya dan meminta penggugat untuk melakukan pemberitahuan kepada anggota kelas lewat media massa seperti yang diatur dalam PERMA.
Setelah dilakukan pemeriksaan di persidangan akhirnya Majelis Hakim dalam putusannya menolak gugatan 15 orang warga korban banjir. Dalam putusan akhirnya, majelis hakim menolak dalil para penggugat class action. Majelis menilai bahwa yang bertanggung jawab terhadap banjir di Jakarta bukanlah Gubernur DKI, melainkan masing-masing walikota di 5 wilayah DKI. Majelis berpendapat bahwa berdasar UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kewengan otonomi berada pada tingkat Kotamadya dan atau Kabupaten, bukan pada propinsi. Oleh karena itu, hanya pemerintahan kabupaten dan kotamadya yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum baik didalam maupun diluar pengadilan. Selain itu disebutkan pula bahwa tergugat II (Gubernur DKI) telah berdaya upaya telah berusaha menanggulangi dan mengendalikan banjir di Jakarta sepanjang Januari-Februari 2002.
Selain itu, dalam gugatan class action dimungkinkan juga terjadi perdamaian antara penggugat dengan tergugat. Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara. Sebelum dilakukan upaya perdamaian dalam class action, pihak penggugat harus mendapatkan persetujuan dari anggota kelompok. Persetujuan ini dapat menggunakan mekanisme pemberitahuan. Pada umumnya upaya perdamaian ini dilakukan diluar proses persidangan, dimana biasanya diantara pihak-pihak dilakukan perjanjian perdamaian secara tertulis diatas kertas bermaterai. Adapun kekuatan putusan perdamaian sama kuatnya dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya, dan dalam hal para pihak sepakat melakukan perdamaian maka tidak dimungkinkan upaya banding.















BAB III
PENUTUP

Implementasi gugatan perwakilan kelompok, baik gugatan class action maupun legal standing dalam praktik peradilan di Indonesia sampai sekarang ini masih sering dihadapkan pada kendala yang bersifat teknis procedural. Peraturan perundang-undangan yang mengaturnya masih sebatas hukum materiil, sedangkan dalam hukum formilnya tidak diatur secara jelas. Ketiadaan ketentuan procedural dalam hukum formil yang mengaturnya, sebenarnya bukan merupakan halangan bagi hakim untuk memberikan putusan yang adil, karena hakim dapat menggunakan sumber hukum lainnya. Hakim harus mempunyai keberanian untuk melakukan terobosan hukum dengan menggunakan penemuan hukum (rechtsvinding) sehingga eksistensi gugatan legal standing dapat diakui dan diterima dalam praktik peradilan di Indonesia.
(nwlawdocument7)

Selengkapnya...

Hukum Perlindungan Konsumen

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

ANALISA PASAL UU NO. 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN



Adapun di dalam pasal 8, 9, 10, 13, 17 adalah merupakan ketentuan mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam kegiatan periklanan. Sedangkan dalam pasal 20 mengatur tentang siapa yang dapat bertanggung jawab atas pelanggaran atas perbuatan yang dilarang tersebut.
Dalam pasal 8,9,10,13,17 UUPK disebutkan mengenai larangan-larangan bagi pelaku usaha untuk tidak memberikan informasi yang tidak benar dan menyesatkan dalam kaitannya dengan iklan produk. Namun hal tersebut sangat timpang sekali dengan keadaan sekarang ini. Ini terbukti masih banyak sekali iklan baik dalam bentuk visual, audio, atau audio visual yang nampaknya tidak sesuai dengan ketentuan dalam UUPK. Pelanggaran itu terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya tidak memberikan informasi yang tidak benar atau menyesatkan atau juga tidak jujur tentang suatu produk yang diiklankan. Sehingga lagi-lagi konsumen yang dirugikan dari tindakan pelaku usaha yang tidak bertanggungjawab tersebut.


Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;


d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Dalam Pasal 8 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang untuk memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak sesuai dengan jumlah, informasi yang ada dalam label, etiket atau keterangan barang dan atau jasa tersebut, tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa, tidak mengikuti prosedur berproduksi secara halal,

tidak memasang label atau penjelasan mengenai produk tersebut, serta tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sedangkan dalam ayat (2) dan (3) memuat larangan bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan barang dan atau sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacad/bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi yang benar. Dan karena perbuatan tersebut maka pelaku usaha dilarang mengedarkan atau memperdagangkan serta wajib menarik dari peredaran.
Jadi sangat jelaslah apabila hal-hal di atas dilanggar maka konsumen adalah pihak yang sangat dirugikan.

Pasal 9
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e. . barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.

(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 9 ayat (1) memuat ketentuan mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan penawaran, promosi, pengiklanan barang dan atau jasa secara tidak benar dan atau seolah-olah dalam hal barang tersebut telah memenuhi dan atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu . Tidak benar yang dimaksudkan adalah bahwa antara iklan dengan barang yang sesungguhnya tidak sama. Dan menurut ketentuan pasal (2), barang dan atau jasa yang dimaksudkan tersebut tidak boleh diperdagangkan. Sehingga berdasarkan ayat (3), pelaku usaha yang melakukan pelanggaran tersebut dilarang melanjutkan kegiatan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan /atau jasa tersebut. Namun pada kenyataannya masih saja ada pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut, sehingga dalam hal ini lagi-lagi konsumen yang dirugikan.

Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai : a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa; c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Pasal 10 menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, atau memberi pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga suatu barang atau jasa, kegunaannya, kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atasnya, tawaran potongan harga atau hadiah menarik ynag ditawarkan, serta bahaya menggunakan barang dan atau jasa tersebut. Hal-hal tersebut pasti sangat menarik konsumen untuk membeli produk barang dan atau jasa tersebut, karena adanya upaya dari pelaku usaha dengan menjanjikan bermacam-macam keuntungan kepada konsumen. Melihat kondisi masyarakat kita saat ini yang mempunyai pola hidup konsumtif, apalagi kaum wanita pasti tertarik dengan potongan-potongan harga maupun hadiah-hadiah

yang di iming-imingkan oleh pelaku usaha. Tentu saja jika ternyata informasi tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang ada maka sangat merugikan bagi konsumen.

Pasal 13
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
(2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.

Demikian halnya dengan pasal-pasal sebelumnya pasal 13 yang memuat ketentuan yang intinya juga merugikan pihak konsumen. Sama dengan pasal 10, pasal 13 ayat (1) ini juga memuat tentang adanya usaha/kegiatan dari pelaku usaha menawarkan barang dan/atau jasa dengan iming-iming pemberian hadiah, namun dengan tujuan tidak memberikan pada konsumen. Jadi merupakan janji-janji kosong atau palsu yang digunakan untuk menarik konsumen dengan cara-cara yang curang. Sedangkan dalam ayat (2), sama dengan ketentuan di atas namun berbeda obyek yaitu dengan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, maupun jasa pelayanan kesehatan. Ketentuan dalam pasal ini akan sangat merugikan konsumen, karena bukan materi saja yang dirugikan namun dari sisi kesehatan pun dirugikan, sehingga akan berakibat pada kesehatan masa yang akan datang.

Pasal 17
(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang :
a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;


e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
(2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).

Pasal 17 memuat ketentuan mengenai larangan bagi pelaku usaha dalam memproduksi iklan yang mengelabui konsumen konsumen mengenai segala tentang barang dan/atau jasa yang diiklankan, dan larangan memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat, atau tidak memuat informasi yang dibutuhkan mengenai resiko pemakaian barang dan/atau jasa tersebut, mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizin yang berwenang, dan melanggar ketentuan etika ynag berlaku. Iklan yang sifatnya mengelabui, memberikan informasi yang salah atau tidak memberi informasi yang seharusnya dibutuhkan, sangatlah merugikan konsumen. Apalagi kalau konsumen tidak teliti atau jeli mungkin tidak akan menyadari hal tersebut. Misal karena salah informasi bisa saja konsumen salah menggunakan suatu produk, sehingga tidak akan dapat bermanfaat penggunaannya dan tidak sesuai tujuan, malah mungkin akan berdampak negatif dengan salahnya informasi tersebut. Oleh karena itu tiap-tiap pelaku usaha hendaknya benar-benar memperhatikan produk yang dikeluarkannya dan tidak hanya mengejar tujuan materi saja namun kualitas dari produk harus dijaga. Demikian juga pengawasan dari pemerintah tentang perizinan dan pengawasan peredarannya harus lebih ditingkatkan lagi.
Dari ketentuan pasal-pasal 8,9,10,13,17 tersebut dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan secara hukum maupun ganti rugi oleh konsumen apabila konsumen merasa dirugikan akibat perilaku pelaku usaha yang melanggar ketentuan-ketentuan di atas. Penyelesaian masalah ini dapat diselesaikan melalui Pengadilan maupun di luar Pengadilan. Khusus diluar pengadilan ini dikenal dengan nama BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen). Penyelesaian melalui BPSK tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam UUPK pasal 45 ayat (3). Penyelesaian di jalur pengadilan akan dilakukan jika usaha yang dilakukan atau penyelesaian melalui BPSK (luar pengadilan) tidak berhasil menemui jalan keluar atau penyelesaian antara pihak.


Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

Pasal 20 menyatakan bahwa pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksinya dan segala akibat yang ditimbulkan dari iklan tersebut. Dalam pasal ini memberikan ketentuan yang tegas tentang siapa yang bertanggung jawab atas pelanggaran iklan yaitu perusahaan periklanan. Namun ketentuan tersebut menjadi membingungkan karena ada ketentuan lain yang menyatakan pendapat yang berbeda. Demikian halnya tentang makna pelaku usaha yang diamaksud belumlah jelas. Dimana di dalam periklanan dikenal ada 3 pihak ynag terlibat dalam periklanan yaitu:
1. pengiklan (produsen, distributor) barang dan atau jasa, atau yang disebut perusahaan pemasang iklan.
2. perusahaan periklanan / biro iklan, sebagai pihak yang membuat iklan atau pihak ynag mempertemukan pegiklan dengan media penyiar iklan.
3. media penyiar iklan, yang mempublikasikan atau menyiarkan materi iklan baik berupa gambar gambar, visual, maupun lisan.
Jadi hal tersebut menimbulakn beberapa pendapat mengenai sesungguhnya siapa yang dapat di tuntut atau bertanggung jawab atas pelanggaran periklanan. Dalam beberapa ketentuan yang menyatakan:
1. pasal 19 UUPK, disana hanya menyebutkan tentang pelaku usaha saja, jadi tidak jelas siapa ynag harus diminta pertanggungjawaban berkaitan dengan iklan.
2. kemudian dalam pasal 20 tampak jelas bahwa yang bertanggungjawab itu adalah pelaku usaha periklanan, jadi yang dimaksud adalah biro periklanan.
3. namun ada ketentuan lain yaitu dalam pasal 45 ayat (2) PP No.69 tahun 1999 yang menyatakan media penyiar iklan yang bertanggung jawab.
Dari beberapa ketentuan tersebut akan menimbulkan beberapa silang pendapat dan tafsiran yang berbeda-beda tentang siapa yang dimaksud dengan pelaku usaha yang bertanggungjawab itu. Hal ini mungkin disebabkan karena kurang jelasnya peraturan tentang periklanan yang memang di Indonesia belum ada peraturan khusus tentang periklanan.


Kalau menurut pendapat saya, pihak pelaku usaha yang bertanggung jawab atas pelanggaran periklanan adalah perusahaan periklanan, biro iklan (perusaahaan periklanan), dan media iklan. Karena ketiga pihak tersebut tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan periklanan, dan tanggung jawabnya secara renteng (tanggung jawab renteng)
Oleh sebab itu hendaknya segera dibuat peraturan yang jelas dan tegas mengenai hal tersebut sehingga konsumen-pun tidak melulu sebagai pihak yang dirugikan.
(nwlawdocument7)

Selengkapnya...

Penalaran Dan Argumentasi Hukum

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Balakang Masalah
Hari raya Nyepi di Tahun 2005 ini (Tahun Saka 1927) kembali ternoda karena sejumlah krama Bali atau warga masyarakat Bali di Batu Paras, Padang Sambian, Denpasar Barat tidak bisa mengendalikan diri. Prilaku kekerasan seperti kejadian ini di Bali memang bukan untuk yang pertama kalinya. Yang memprihatinkan lagi justru kejadian ini terjadi pada saat masyarakat Hindu di Bali harus mengendalikan diri saat hari raya Nyepi. Apakah masyarakat Bali sudah begitu jauh meninggalkan nilai-nilai religius dan budi pekerti sehingga tidak mampu mengendalikan dirinya yang mudah diprovokasi. Kejadian seperti itu tidak saja menodai warga yang berbuat saja (pelaku), melainkan juga masyarakat Bali pada umumnya.
Fakta-fakta mengenai kejadian akibat emosi massa yang tidak terkendali saat itu adalah rumah-rumah penduduk mengalami rusak berat, atapnya berlubang-lubang dan berserakan di tanah, pintu-pintunya rusak dan jebol. Warga yang mengamuk tersebut juga bersenjatakan Gobang (kapak besar), kayu, besi dan batu. Kerugian material akibat kejadian tersebut juga belum dapat ditaksir. Begitu juga dengan kerugian imaterial. Yang memprihatinkan lagi, diantara warga yang diungsikan ke Mapoltabes terdapat balita, orang sakit dan warga yang yang lanjut usia.


Massa yang melempari rumah-rumah tersebut, menurut sumber yang penulis dapat berawal dari dipicunya suara kulkul bulus yang bertalu-talu pada malam hari. Mendengar kulkul bulus tersebut, massa menjadi naik pitam dan spontan keluar rumah dengan membawa senjata tajam lengkap ditangan seperti tombak dan parang.
Dari sumber lain yang penulis wawancarai, kejadian ini terjadi akibat adanya warga yang hendak pindah banjar, dari Banjar Batu Paras ke Banjar Robokan. Warga yang sebenarnya berasal dari Banjar Robokan, tapi tinggal di Banjar Batu Paras ini menyebabkan warga mempunyai kewajiban membayar iuran dikedua Banjar. Besarnya iuran mulai dari Rp. 30-60 juta. Karena warga yang bersangkutan keberatan bila harus berada di bawah dua Banjar. Maka, dia ingin kembali ke Banjar Robokan agar tidak membayar iuran ganda.
Lalu, apakah betul ini merupakan kasus adat?. Menurut pengkajian lebih mendalam mengenai kasus ini, seharusnya ini telah menjadi kasus hukum publik, karena dilain sisi hal ini telah menyangkut kepentingan dari pada masyarakat umum karena adanya tindakan intimidasi sampai pada tindakan kekerasan. Jadi, walaupun kasus ini berlatar belakang adat tetapi apa yang dilakukan warga adalah melawan hukum.
Oleh sebab itu dengan bertitik tolak akan semua argumentasi dan persoalan di ataslah maka paper ini mencoba untuk mencari jawabannya secara logis ilmiah yang dapat diterima sebagai suatu kaidah ilmu hukum yang berlaku dengan judul :
“KASUS KERUSUHAN PADA SAAT HARI RAYA NYEPI DI BALI”

b. Rumusan Masalah
Permasalahan dari judul “KASUS KERUSUHAN PADA SAAT HARI RAYA NYEPI DI BALI ”, dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah sebenarnya peranan Awig-Awig dalam tatanan hukum adat di Bali ?
2. Apa peranan pihak yang Bendesa Adat dan Kepolisian dalam pemecahan masalah hukum ini ( problem solving ) ?

c. Metode Penulisan
Metode penulisan yang penulis pergunakan dalam paper ini ialah metode penelitian secara normatif yaitu dengan melihat norma hukum dan peraturan-peraturan hukum serta literatur-literatur yang berkaitan dengan pemecahan masalah hukum ( problem solving ) .

BAB II
PEMBAHASAN

Desa Adat mempunyai anggota yang umumnya dapat diklasifikasikan atas berbagai cara. Ada yang mengklasifikasikan anggota atas dasar;
• Warga asli dan tidak asli (Krama Desa dan Krama Tamiu)
• Perbedaan hak dan kewajiban dalam Desa Adat
Dalam berbagai kehidupan masyarakat di Bali, bahwa sebagian besar Krama Desa Adat berdomisili di wilayah Desa Adat yang bersangkutan. Anggota Desa Adat mempunyai keterikatan yang sangat kuat terhadap Desa Adatnya sehingga biarpun mereka telah berdomisili dilain daerah untuk waktu yang cukup lama, seperti para imigran di Denpasar mereka tetap menjadi anggota dari pada Desa Adat dimana mereka berasal, sedangkan diwilayah domisili yang baru mereka umumnya hanya menjadi warga Desa Administratif.
Melihat dari perbedaan yang terjadi dalam kasus ini, dimana sekelompok orang tertentu menyerang korban dengan alasan yang menyatakan bahwa korban melanggar Awig-Awig dari Desa setempat adalah suatu tindakan yang salah.
Seharusnya hal ini dibawa kekuasaan tertinggi pada Desa Adat yang terdapat pada rapat anggota atau Sangkep (Paum, Parum). Jikalau nantinya putusan yang diambil oleh Bendesa Adat selaku orang yang berfungsi sebagai Krama dari Desa Adat menyatakan kesimpulan yang berbeda dengan kelompok yang besar, maka pihak tersebut harus menerimanya dengan senang hati. Beda halnya jika orang atau korban tersebut minta pembagian atas Harta Desa Adat, maka hal itu dapat ditolak karena perubahan keanggotaan secara mutlak.
Pada saat berlangsungnya pertemuan antara korban dengan Bendesa Adat beserta anggota lainya harus tetap menjaga keseimbangan antara keseimbangan dan keamanan serta ketertiban. Karena mungkin pada saat mengadakan konsultasi, ada tekanan dari pihak-pihak luar (kelompok besar) yang ingin korban terusir dari Desa tersebut. Hal ini juga tak terlepas dari kepribadian sang Bendesa Adat. Karena dialah orang yang dapat mengambil kesimpulan atas perkara tersebut.
Konsep yang umumnya dianut oleh Bendesa Adat dalam menangani konflik adalah konsep “harmonisasi”. Dimana setiap konflik atau pelanggaran terhadap aturan dianggap menggangu keharmonisan yang ada. Oleh karena itu penangan dilakukan dalam upaya mengembalikan keharmonisan Awig-Awig Desa Adat tersebut. Namun tidak jarang bahwa Awig-Awig tersebut hanya dimanfaatkan oleh golongan tertentu.
Namun menurut pengkajian lebih mendalam mengenai kasus ini, seharusnya ini telah menjadi kasus hukum publik, karena dilain sisi hal ini telah menyangkut kepentingan dari pada masyarakat umum karena adanya tindakan pengancaman sampai pada tindakan pembakaran.
Maka pemeriksaan dan penyelidikanya harus diserahkan kepada tim penyidik dari petugas kepolisian. Dalam melakukan penyelidikan pihak yang berwajib harus selalu berkonsultasi dengan para pihak Prajuru Adat. Karena mereka yang lebih mengerti bagaimana hal itu bisa terjadi.
Dalam penelitian tentang siapa yang bersalah atau tidak, pihak yang berwajib harus menjaga keamanan dari pada kelompok kecil dalam hal ini adalah keluarga korban. Terlepas dari masalah tersebut, pihak yang berwajib juga harus selalu menjadi penyeimbang dalam setiap masalah jikalau masalah tersebut menyangkut kepentingan umum. Dengan kata lain Mapoltabes harus siap sebagai fasilitator atau mediator untuk mencarikan solusi efektif atas kasus ini.
Dalam melakukan proses penyelidikan lanjutan, pihak berwajib harus memperhatikan hubungan hukum antara Adat Bali, Hukum Adat secara Nasional dan Hukum Nasional. Agar nantinya tidak terjadi adanya pertentangan dalam penerapan aturan dan kita mengharapkan agar penyelesaian kasus ini dapat selesai tanpa merugikan salah satu pihak.
Dalam kaitannya dengan masalah kasus lainnya, saya mengharapkan bahwa perkembangan zaman ini tidak mengganggu kondisi yang kondusif yang ada di Bali. Melihat kedepan bahwa akan sangat banyak tantangan yang akan dihadapi seperti masa globalisasi dan modernisasi. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah kita mampu untuk menyongsong masa depan kita yang sudah di depan mata.
Dengan otonomi yang diagung-agungkan daerah saat ini, kita berharap bahwa desa-desa yang ada di Bali tetap eksis karena melalui Awig-Awig Desa inilah kita dapat memakmurkan, melestarikan terus budaya bangsa dan negara kita sendiri. Jika kondisi ini tidak dapat kita tahan maka banyak persoalan yang akan muncul seperti “apakah manusia Bali telah siap memasuki pasca persimpangan jalan ?
Sesungguhnya kemampuan dan ketahanan akar pancar kebudayan Bali masih dalam tahap ujian terus-menerus. Dalam pengkajian pemerintah bahwa sektor pertanian di Bali akan diambil alih oleh sektor industri wisata. Sebagai konsekuensi bahwa akan datang kekuatan eksternal dan akan terus mengalir sebagai satu kekuatan makro yang akan mendorong masyarakat menjadi lemah dalam berbagai sistem kehidupan.
Untuk hal itu semua masyarakat harus perlu disadarkan kembali menggenai arti sebenanya dari pada aturan Awig –Awig disetiap Desa Pakraman.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Peranan Majelis Madya belum optimal, paling tidak mereka telah berusaha untuk ikut berpartisipasi dalam mengamankan. Namun, selama ini Majelis Madya terjun ke daerah tanpa dana operasional yang mendukungnya, hanya berbekal tanggung jawab. Majelis Madya yang ada di kecamatan dan desa-desa sulit sekali dijangkau, apalagi jangkauan tugasnya sangat luas yang tak bisa dijangkau dengan hanya berjalan kaki saja. Selain itu, dukungan dari pemerintahan juga kurang dalam penyelesaian beragam konflik. Selain itu, juga banyak kasus pribadi yang terjadi mengatasnamakan adat setempat sehingga sering terjadi bentrokan. seharusnya diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat dengan desa adat setempat yang tanggap dengan keadaan ini, jangan dibiarkan seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa membesar dan perlu antisipasi, sehingga kasus serupa tak terjadi lagi.
2. Saran
Untuk menyikapi maslah ini maka sebaiknya setiap warga masyarakat di Bali hendaknya mau saling menghormati dan menghargai akan hak dan kewajibannya masing-masing sehingga kejadian ini tidak terulang kembali dan mengingat bahwa saat kejadian itu tepat dengan perayaan Hari Nyepi, yang sepatutnya hendaknya saling merenungkan diri dan mengintrospeksi diri untuk menjalani kehidupan yang lebih baik lagi. Kemudian hendaknya elemen-elemen yang terkait dengan ketertiban dan keamanan di Bali ini dapat meningkatkan kinerjanya sehingga dapat menciptakan suasana yang lebih kondusif lagi.











DAFTAR BACAAN

1. Literatur-literatur :
I Gde Pitana. “Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali”. Offset BP, Denpasar,
I Ketut Artadi, SH. SU., “Hukum Adat Bali (Dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi Yurisprudensi)”. Setia Kawan, Denpasar, 1987.
I Wayan Surpha, SH., “Eksistensi Desa Adat Di Bali”. Upada Sastra, Denpasar, 1993.
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH., “Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia”. Mandar Maju, Bandar Lampung, 2003.
Soleman B. Taneko, SH., “Hukum Adat (Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Mendatang)”. Eresco, Bandung, 1987.
2. Lain-lain :
Bali Post. “Tujuh Rumah Dirusak Saat Nyepi”. Halaman 1.
Bali Post, 17 Maret 2005. Betulkah Itu Persoalan Adat”. Halaman 9.
Radar Bali, 17 Maret 2005. “Nyepi Diwarnai Kerusuhan”.
(nwlawdocument7)

Selengkapnya...